NALARNESIA.COM – Peneliti dari Institute of Government and Public Affairs Universitas Gadjah Mada (UGM), Arif Novianto, menyoroti pentingnya perlindungan sosial yang memadai bagi para pengemudi ojek online dan kurir agar tidak terjebak dalam jurang kemiskinan.
Menurut Arif, para pekerja yang tergabung dalam platform digital seperti Gojek, Grab, dan Maxim seharusnya memperoleh jaminan ketenagakerjaan seperti BPJS, mengingat hubungan mereka dengan perusahaan sudah tidak lagi mencerminkan pola kemitraan yang sejajar.
“Kalau kita lihat dari sudut pandang yang lebih kritis, dalam hubungan kemitraan seharusnya ada aspek saling memperkuat dan setara. Tapi pada praktiknya, keputusan diambil sepihak oleh perusahaan,” ujar Arif saat dihubungi dari Jakarta, Selasa.
Status “mitra” yang disematkan selama ini justru membuat perusahaan lepas dari kewajiban terhadap para pengemudi, meskipun mereka mengambil keuntungan dari setiap layanan yang dijalankan oleh para pengemudi, termasuk penetapan tarif yang tidak melibatkan mereka.
BACA JUGA: Kominfo Lakukan Langkah Preventif dalam Memberantas Judi Online di Masyarakat
“Artinya kalau memang ingin menciptakan iklim atau ekosistem ekonomi digital itu baik, maka mereka (platform) harus melindungi driver-nya. Jangan sampai kemudian driver-nya sakit dibiarkan, driver-nya kecelakaan mereka tidak bertanggung jawab,” tegas Arif.
Berdasarkan survei yang dilakukan institusinya, sekitar 70 hingga 80 persen pengemudi digital pernah mengalami kelelahan ekstrem akibat bekerja lebih dari 13 jam sehari. Mirisnya, hanya kurang dari 40 persen yang memiliki jaminan sosial, dan sebagian besar di antaranya berasal dari bantuan pemerintah.
“Ini memperlihatkan pentingnya jaminan, seperti kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Bukan hanya soal keadilan, tapi juga perlindungan dasar bagi pekerja,” tambahnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa saat ini mayoritas pengemudi sudah mulai mempertanyakan status kemitraan. Jika dulu mereka menganggap sistem mitra menguntungkan karena bonus besar, kini sebagian besar justru menginginkan status formal sebagai karyawan tetap.
BACA JUGA: Polri Ungkap Peran Tersangka Judi Online yang Sering PP Indonesia-Kamboja
“Sekarang sekitar 58 persen driver ingin menjadi pekerja. Karena ada kepastian upah, jaminan sosial, dan biaya operasional ditanggung perusahaan,” kata Arif.
Lebih lanjut, Arif meminta pemerintah, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), untuk segera mengakhiri praktik “kemitraan palsu” ini. Ia mencontohkan negara-negara seperti Inggris, Belanda, dan Swiss yang telah mengkategorikan pengemudi aplikasi sebagai pekerja karena memenuhi unsur hubungan kerja.
“Di negara-negara tersebut, driver platform tidak bisa lagi disebut mitra karena sudah terpenuhi tiga unsur hubungan kerja: ada upah, ada perintah, dan ada pekerjaan dari platform. Maka sudah seharusnya mereka dikategorikan sebagai pekerja,” ujarnya.
Salah satu pengemudi ojol, Manyono (58), juga mengungkapkan keluhannya mengenai absennya perlindungan sosial dari pihak perusahaan. Saat ini, seluruh kewajiban untuk membayar iuran BPJS ditanggung sendiri oleh pengemudi, tanpa kontribusi dari aplikator.
BACA JUGA: TNI AD Tempatkan 1.728 Prajurit Baru di Satuan BTP, Wujudkan Visi Pembangunan Kerakyatan Prabowo
“Semestinya kita dilindungi jaminan sosial. Meski kemitraan tapi status kita layaknya pekerja. Ada sanksi apabila kita tidak performed,” ucap Manyono.
Ia berharap pemerintah segera mengakui pengemudi ojol sebagai bagian dari ekosistem kerja digital yang perlu dilindungi oleh hukum dan kebijakan sosial yang adil.
Sementara itu, Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer Gerungan alias Noel menyatakan bahwa pemerintah sedang merancang regulasi untuk mengatur hak-hak pengemudi ojol, termasuk aspek tarif, bonus hari raya, dan jaminan kerja. Penyusunan aturan ini akan melibatkan berbagai kementerian dan lembaga, termasuk Kemensetneg, Kemenhub, dan Kominfo.
“Ini sudah menjadi atensi ya, menjadi atensi kita sebagai negara. Itu termanifestasi nanti dengan Setneg,” kata Noel.
BACA JUGA: Presiden Prabowo Undang Pemuda Fiji Belajar di Indonesia dan Perkuat Kerja Sama Regional
Ia juga menambahkan bahwa kebijakan yang tengah disiapkan ini akan mempertimbangkan karakter dan ekosistem bisnis yang berbeda-beda dari masing-masing platform agar tidak menciptakan aturan yang kontraproduktif.
“Karena masing-masing ini beda karakter, beda iklim bisnisnya. Nanti kita cari formulasinya yang tepat. Karena kita tidak mau membuat regulasi malah merugikan,” tuturnya.***