Menurut laporan BBC pada 28 Maret yang mengutip analisis Dr. Christian Malaga-Chuquitay dari Imperial College London, Thailand baru menerapkan standar keselamatan bangunan tinggi tahan gempa sejak 2009. Akibatnya, gedung-gedung yang dibangun sebelum 2009 lebih rentan terhadap gempa bumi.
Sebelumnya, Thailand jarang mengalami gempa, sehingga banyak bangunan yang tidak dirancang tahan gempa karena biaya konstruksinya lebih murah. Metode yang digunakan dalam konstruksi adalah “flat slab” atau “pelat datar”, di mana lantai langsung bertumpu pada kolom tanpa balok. Teknik ini tidak lagi direkomendasikan untuk daerah rawan gempa.
BACA JUGA: Presiden Prabowo Apresiasi Peran Baznas di Dalam dan Luar Negeri
Sebagai perbandingan, Jepang yang sering mengalami gempa telah lama menerapkan konstruksi dengan sistem balok. Perbedaan ini banyak dibahas di media sosial, termasuk di TikTok.
Beberapa pihak di Thailand mempertanyakan apakah negaranya benar-benar mengabaikan standar keselamatan gempa dalam pembangunan gedung.
Myanmar Menghadapi Krisis Pascagempa
BBC juga mengutip pernyataan Prof. Amorn Pimarnmas dari Structural Engineers Association di Thailand, yang menyebut bahwa regulasi bangunan tahan gempa memang sudah diterapkan di 43 provinsi di Thailand, namun hanya sekitar 10 persen bangunan yang benar-benar tahan gempa.
Meski begitu, situasi Thailand masih lebih baik dibandingkan Myanmar, yang menjadi pusat gempa dan mengalami dampak yang lebih parah, terutama di wilayah Mandalay dan Sagaing.
BACA JUGA: Mayor Teddy Catatkan Kepuasan Kinerja Tertinggi Kedua, Melampaui Sri Mulyani
Wilayah-wilayah ini berada di jalur Patahan Sagaing, serupa dengan Cianjur yang terdampak gempa akibat pergerakan Patahan Cugenang pada November 2022.
Myanmar sebenarnya lebih sering mengalami gempa dibandingkan Thailand, tetapi banyak bangunan di sana dibangun tanpa memperhatikan ketentuan tahan gempa.
“Kemiskinan, pergolakan politik, di samping bencana alam besar lainnya, termasuk tsunami 2004, telah mengalihkan perhatian negara itu dari fokus kepada risiko gempa bumi yang tak pernah bisa diprediksi,” ujar Dr. Ian Watkinson dari Royal Holloway University seperti dikutip BBC.