NALARNESIA.COM – Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang harus dibayar saat melakukan transaksi jual beli yang termasuk dalam kategori Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Rencana untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen mulai ramai dibicarakan menjelang penerapannya pada 1 Januari 2025. Kenaikan ini sudah diatur dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pasal 7 ayat 1.
Ada beberapa alasan di balik rencana kenaikan PPN ini. Pertama, pemerintah ingin meningkatkan pendapatan negara. PPN adalah salah satu sumber utama penerimaan negara yang penting untuk mendanai berbagai program pemerintah, terutama setelah pandemi COVID-19 yang memperburuk kondisi fiskal. Kenaikan ini diharapkan dapat memperbaiki anggaran pemerintah.
Kedua, pemerintah berupaya mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Dengan meningkatkan penerimaan pajak, diharapkan penggunaan utang untuk menutupi defisit anggaran bisa berkurang, sehingga stabilitas ekonomi dapat terjaga dalam jangka panjang.
Ketiga, kenaikan PPN menjadi 12 persen juga dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan standar internasional. Saat ini, tarif PPN Indonesia yang berada di angka 11 persen masih tergolong rendah dibandingkan negara maju lainnya.
Menurut Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, rata-rata tarif PPN global, termasuk negara-negara OECD, adalah sekitar 15 persen. Dengan kebijakan fiskal pada 2025, pendapatan negara ditargetkan mencapai 12,08-12,77 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), dengan belanja negara 14,21-15,22 persen PDB, dan defisit 2,13-2,45 persen PDB.
Namun, kenaikan PPN ini juga berpotensi menimbulkan dampak negatif, terutama bagi masyarakat dan pengusaha kecil. Kenaikan tarif ini dapat menyebabkan harga barang dan jasa di pasar meningkat, yang pada gilirannya akan membebani daya beli masyarakat, terutama yang berada di kelas menengah ke bawah.
Ekonom senior, Drajad Wibowo, mengungkapkan bahwa kenaikan PPN akan membuat harga barang lebih mahal, sehingga mengurangi minat beli masyarakat. Pendapat serupa juga disampaikan oleh ekonom INDEF, Aviliani, dan ekonom CSIS, Deni Friawan, yang berpendapat bahwa kondisi ekonomi masyarakat belum siap untuk kenaikan ini, mengingat tingkat pengangguran yang masih tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan PPN dapat berkontribusi pada inflasi.
Sebagai tambahan, peneliti dari Pusat Industri Perdagangan dan Investasi, Ahmad Heri Firdaus, mencatat bahwa jika kenaikan PPN menjadi 12 persen resmi diterapkan, tarif tersebut akan menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara, setara dengan Filipina, yang juga memiliki tarif PPN sebesar 12 persen, sementara negara-negara lain seperti Kamboja dan Laos masing-masing memiliki tarif 10 persen, dan Malaysia sebesar 6 persen.***