NALARNESIA.COM – Kuasa Usaha Ad Interim PTRI Jenewa, Achsanul Habib, menyebut adopsi WHO Pandemic Agreement sebagai tonggak penting dalam memperkuat semangat multilateralisme. Ia menilai bahwa kesepakatan ini sangat relevan di tengah kondisi dunia yang tengah terpecah secara geopolitik.
Dalam pertemuan ke-78 World Health Assembly (WHA-78) pada 20 Mei di Jenewa, Swiss, negara-negara anggota WHO secara konsensus menyetujui WHO Pandemic Agreement. Kesepakatan ini dirancang untuk memperkuat kerjasama global dalam menghadapi ancaman pandemi di masa depan.
WHO Pandemic Agreement memuat prinsip dan mekanisme koordinasi internasional untuk memperkuat sistem kesehatan dunia. Kesepakatan ini mencakup komitmen negara-negara dalam memperkuat tenaga medis, riset, transfer teknologi, serta sistem pengawasan kesehatan yang lebih baik, berdasarkan pelajaran dari pandemi COVID-19.
BACA JUGA: Serangan Israel Terhadap Rumah Sakit di Palestina Dikecam Keras oleh WHO
Achsanul menyampaikan bahwa proses negosiasi belum berakhir, karena pembahasan Annex atau lampiran yang merinci sistem Pathogen Access and Benefit-Sharing (PABS) masih akan berlangsung.
“Indonesia akan mempersiapkan diri secara matang menghadapi perundingan ini,” ujarnya.
Menanggapi banyaknya informasi keliru yang beredar, Achsanul menegaskan bahwa WHO Pandemic Agreement tidak memberi kewenangan pada WHO untuk menetapkan hukum atau kebijakan nasional suatu negara. Ini mencakup larangan untuk mengatur perjalanan internasional, mandat vaksinasi, maupun penerapan lockdown.
Ia menekankan bahwa upaya menghadapi pandemi di masa depan harus berpijak pada nilai kesetaraan dan solidaritas global. Prinsip ini penting untuk memastikan tidak ada negara yang tertinggal dalam menghadapi ancaman kesehatan lintas negara.
BACA JUGA: Fraksi PKS DPR RI Kunjungi Kantor Pusat WHO Meminta Bantuan untuk Selamatkan Warga Palestina
Dirjen WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengapresiasi pencapaian ini sebagai langkah besar berkat kepemimpinan dan kerja sama antarnegara anggota. “Dunia kini lebih aman dengan adopsi WHO Pandemic Agreement yang bersejarah,” ucap Tedros.
Indonesia disebut memainkan peran strategis dalam proses negosiasi, terutama melalui kepemimpinannya di kelompok negara berkembang Group for Equity (GfE) yang beranggotakan lebih dari 30 negara. Kelompok ini memperjuangkan akses yang adil dan setara terhadap sumber daya penanggulangan pandemi.
Salah satu terobosan dalam kesepakatan ini adalah pembentukan sistem PABS, yang diyakini akan mendukung akses yang cepat dan adil terhadap vaksin, terapi, dan alat diagnostik saat terjadi pandemi.
Penandatanganan resmi WHO Pandemic Agreement oleh negara-negara baru akan dilakukan setelah Annex mengenai PABS disepakati. Pertemuan teknis pertama Intergovernmental Working Group (IGWG) untuk merundingkan Annex tersebut dijadwalkan berlangsung di Jenewa pada 15 Juli mendatang.***