NALARNESIA.COM – Komunitas pemulung di Ponorogo, Jawa Timur, turut serta dalam memperingati Hari Kemerdekaan Indonesia pada Sabtu, 17 Agustus 2024.
Kelompok yang dikenal dengan nama Pemulung Peduli Lingkungan (Pepeling) ini memilih area Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di desa Mrican, Kecamatan Jenangan, sebagai lokasi upacara mereka.
Meskipun dilaksanakan di area persampahan yang kumuh, kotor, dan berbau tak sedap, para pemulung tetap melaksanakan upacara dengan penuh semangat dan rasa hormat.
Prosesi upacara tidak berlangsung secara formal seperti di instansi pemerintah, melainkan sederhana dan seadanya, sesuai dengan kondisi dan profesi mereka.
BACA JUGA: Pimpin Upacara Hari Bakti TNI AU Ke-77 Danlanud Iswahyudi Beri Nasihat Penting ke Para Prajurit
Dengan mengenakan seragam khas pemulung, yang terdiri dari baju, sepatu, topi, dan perlengkapan lainnya, 33 peserta upacara, termasuk dua wanita, berdiri di antara tumpukan sampah. Bendera Merah Putih dikibarkan di tiang bambu sebagai pusat perhatian.
Upacara dimulai pukul 10.00, sesuai dengan waktu ketika Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Para pemulung, yang tetap fokus meski dikelilingi sampah, melantunkan lagu “Indonesia Raya” dengan penuh semangat dan kebanggaan.
“Secara ekonomi kami memang kekurangan. Bahkan miskin. Tapi rasa nasionalisme dan kecintaan kepada bangsa dan negara, tak kalah. Bahkan, mungkin lebih besar dibanding koruptor yang menggerogoti negara,” ucap Marsudi Jois selaku pembawa acara upacara.
Kepala TPA Mrican, Abri, yang juga menjadi inspektur upacara, mendukung penuh kegiatan ini. Adi bertindak sebagai komandan upacara, Setiawan membacakan naskah Pancasila, Abri membacakan teks Proklamasi, dan tiga pemulung, Sahur, Jito, dan Agus, menjadi pembawa bendera.
BACA JUGA: Red Hot Chili Peppers dan Billie Eilish Diakabarkan akan Tampil di Penutupan Olimpiade Paris 2024
Setelah upacara selesai, para pemulung melanjutkan kegiatan dengan kerja bakti membersihkan selokan di sekitar TPA sepanjang 300 meter. Ini dilakukan untuk menjaga kebersihan meski berada di lingkungan yang kotor, terutama saat musim hujan tiba.
Setelah kerja bakti, para pemulung menikmati makan siang bersama. Istri-istri mereka mengirimkan makanan tradisional yang dinikmati di antara tumpukan sampah, tanpa acara ramah tamah mewah seperti yang biasa dilakukan oleh pejabat.***