NALARNESIA.COM – Bersama sejumlah Ketua dan pengurus Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (PPPSRS), Ketua Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun Indonesia (P3RSI), Adjit Lauhatta kembali mendatangi Balai Kota DKI Jakarta untuk membuat Laporan Masyarakat terkait keluhan anggotanya yang protes kenaikan tarif air bersih Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya di rumah susun yang mencapai 71 persen.
Adjit pun menyesalkan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dan PAM Jaya yang tidak peka terhadap kondisi kehidupan di rumah susun yang sebagian besar adalah kalangan menengah dan masyarakat berpenghasilan rendah.
Dia menegaskan, Tarif Baru Layanan Air Bersih dari PAM Jaya sangat memberatkan. Pasalnya, dalam tabel layanan baru yang menempatkan rumah susun sebagai apartemen yang merupakan hunian sama gedung bertingkat tinggi komersial, kondominium, dan pusat perbelanjaan yang tarifnya sebesar Rp.21.500 per m3.
BACA JUGA: Belajar Regulasi dan Pengelolaan Rumah Susun, P3RSI Studi Banding ke Singapura dan Malaysia
”Terkait hal tersebut kami perlu penjelasan, apa dasar PAM Jaya penetapan golongan apartemen/rumah susun disamakan dengan gedung bertingkat tinggi komersial, kondominium, dan pusat perbelanjaan? Padahal fungsi dan peruntukannya berbeda. Apartemen atau rumah susun adalah hunian, sedangkan lainnya untuk komersial,” kata Adjit kepada sejumlah awak media seusai melakukan Laporan Masyarakat, Jumat, 24 Januari 2025, di Balai Kota DKI Jakarta.
Jadi sangat tidak pas, jika rumah susun (apartemen) yang memiliki fungsi dan peruntukkan sebagai hunian dikategorikan/digolongkan sama dengan gedung bertingkat untuk bisnis, seperti perkantoran, trade center, kondominiun (service apartement).
Atas hal tersebut, kata Adjit, P3RSI mengusulkan, kata apartemen di rincian jenis pelanggan: gedung bertingkat tinggi komersial/apartemen/kondominium/pusat perbelanjaan, dihilangkan. Selanjutnya, gedung bertingkat yang fungsi dan peruntukannya sebagai hunian lebih tepat digolongkan sebagai rumah susun.
BACA JUGA: Anggotanya Belum Dapat Pencatatan, P3RSI Buat Laporan Masyarakat di Balai Kota
Adjit juga menekankan, akibat kenaikkan tarif air bersih ini yang mencapai 71 persen, beban yang ditanggung pemilik dan penghuni rumah susun makin berat dengan kenaikan tarif air bersih dari Rp.12.550 menjadi Rp21.500. Padahal, PPPSRS dalam hal ini warga rumah susun masih menanggung perawatan instalasi air bersih di gedungnya yang mencapai miliaran rupiah setiap tahunnya.
”Sangat ironis, kalau pemerintah, dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta mendorong agar kalangan dan MBR tinggal di rumah susun, tapi setelah tinggal kok kami malah dikenakan tarif air bersih paling tinggi. Harusnya Pemprov DKI dan PAM Jaya peka dengan situasi ekonomi kalangan menengah dan MBR saat ini,” kata Adjit.
Fraksi PSI minta ditunda
Sebelumnya, Francine Widjojo, anggota Komisi B DPRD Provinsi DKI Jakarta Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) meminta pihak Perumda Air Minum Jaya (PAM Jaya) menunda pemberlakuan Tarif Baru Layanan Air, terutama di rumah susun (hunian).
Menurut Francine, saat ini belum ada urgensi kenaikkan tarif air PAM Jaya di 2025 karena sejak tahun 2017 PAM Jaya selalu untung, tertinggi di tahun 2023 untung Rp 1,2 triliun, dan tahun 2024 membagikan dividen Rp 62 miliar ke Pemprov DKI Jakarta selaku 100 persen pemegang saham PAM Jaya, tapi tingkat kebocoran air atau Non Revenue Water sejak tahun 2017 sangat tinggi, selalu berkisar 42-46%.